Kamis, 17 Januari 2013

Sawahlunto, Desember 2012

haihooo, lama banget ga update blog ya... *sapusapu* Kemunculan kali ini, mau cerita tentang jalanjalan kita ke Sawahlunto. Pastinya pada tau kan ya, Sawahlunto? Dulu pas SD kota ini sering disebut-sebut sebagai penghasil batubara terbesar. Sejarahnya, sekitar akhir tahun 1800an, Belanda pertama kali menemukan batubara di wilayah ini. Kemudian, Belanda melakukan penelitian lanjutan dan membuat perencanaan sedemikian rupa sehingga Sawahlunto berubah dari sawah dan ladang gersang menjadi suatu kota tambang. Katanya, disinilah investasi terbesar  ditanamkan oleh Belanda. 

Berbagai fasilitas dibangun untuk mendukung penambangan batubara, antara lain jalur kereta api untuk memudahkan mengangkut batubara. Para pekerja didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia, sebagian besar pekerja paksa yang merupakan tahanan kriminal maupun politik. Mereka dikenal dengan sebutan orang rantai, buruh tambang yang bekerja dengan kaki dirantai agar tidak melarikan diri. Penambangan batubara terus berlangsung di Sawahlunto meskipun Belanda sudah hengkang dari Indonesia, tidak hanya oleh perusahaan pemerintah tetapi juga swasta. Sampai pada tahun 2000an, tambang luar sudah tidak menghasilkan. Sebenarnya masih banyak kandungan batubara, tetapi letaknya jauh di dalam sehingga memerlukan biaya besar, tak sepadan dengan benefitnya. Sejak saat itu, Sawahlunto dianggap sebagai kota mati karena aktivitas bisnis utamanya berhenti, banyak ditinggalkan penduduknya yang khawatir dengan kelangsungan hidup kotanya.

Lalu, sekarang gimana nasibnya? Untungnya pak walikota memiliki terobosan untuk menyulap Sawahlunto sebagai kota wisata. Yah, jangan dibayangkan kota wisata seperti di Bali yang penuh fasilitas yaa. Sesuai dengan mottonya, 'kota tambang yang berbudaya', yang dijual disini utamanya tetep sejarah tambangnya. Ada juga objek wisata lainnya yang dikembangkan pemerintahnya demi meningkatkan pariwisata seperti waterboom, panorama, dan kebun binatang.

Dari Payakumbuh, jaraknya sekitar 80km, 2 jam perjalanan lewat batusangkar, tanah datar. Kita berangkat sekitar jam 10, tapi karena mampir-mampir, jadilah siang banget baru sampe Sawahlunto. Pertama, mampir di dangau kawa daun. Penasaran kaya gimana rasanya air kawa, udah berkali-kali ke minang belum pernah nyobain. Jadi, kawa daun ini adalah minuman yang dibuat dari daun kopi. Sejarahnya, jaman dulu hampir semua biji kopi diekspor penjajah, jadilah pribumi jaraaang banget bisa minum kopi. Tak ada rotan akarpun jadi, tak ada biji kopi daunnyapun jadi. hehehe... Yang unik, air kawa ini disajikan di tempurung kelapa dan dialasi batang bambu. Rasanya, kata gue sih agak kaya teh,agak kaya kopi. lumayan aneh.. Hihihi... Selain yang original, biasanya dibikin pake susu, tapi gue ga nyobain. Dangau kawa di sepanjang jalan tanah datar-batusangkar ini kalo siang-sore pasti ramee banget.

Selanjutnya, mampir ke Istana Besar Pagaruyung. Lagi rame banget juga soalnya liburan anak sekolah. Disitu cuma sebentar, numpang foto-foto, Delisha naik kuda tunggang, beli baju kenang-kenangan buat gue sm delisha(yang akhirnya ketinggalan di hotel). Abis itu cus ke Sawahlunto.

Jam setengah 2 sampe Sawahlunto. Tujuan pertama kita ke kebun binatang buat nyenengin anak. Lokasinya di kawasan wisata Kandi. Tiket masuknya kalo ga salah 10ribu. Bangunannya masih lumayan baru, bersih. Binatangnya ga terlalu banyak kayanya (apa gue yg ga mengeksplor?), mungkin karena masih tergolong baru ya, jadi koleksinya belum lengkap. Melihat lahannya yang masih luas sih semoga dikembangin lagi. Di dalem lokasi juga ada taman kupu-kupu (kita ga masuk), flying fox, sama wisata air semacam bebek kayuh, perahu naga, sampe banana boat! Nah, kalo favoritnya Delisha, jelas, kuda tungggang (6rb). Ada juga gajah tunggang, tapi Delisha ga berminat.


Habis dari kebun binatang, karna udah sore kita cari hotel dulu. Dari kawasan Kandi ke kota sawhlunto lumayan juga, sekitar 15km. Sampai kota, tujuan utama cari hotel. Dari hasil gugling, kandidatnya ada 2, hotel ombilin sama parai city garden. Harganya beda -beda tipis, cuma kalo ombilin ini bangunan tua peninggalan belanda. Kalo pengen dapet suasana kota tuanya sawahlunto, cocok banget hotel ini. Tapi, karna gue agak-agak parno sama bangunan kolonial, berasa spooky gt, jadilah kami pilih parai city garden hotel. Kamar deluxe, ratenya sekitar 400rb semalem. Not bad.. Kalo mau lebih hemat, di Sawahlunto juga banyak rumah penduduk yang dijadiin guest house lho..

Dari jendela kamar hotel yang sengaja kita pilih di lantai 3, kita bisa liat pemandangan kota sawahlunto, kota kecil yang bentuknya seperti mangkok karena dikelilingi bukit nan hijau. Kebanyakan bangunannya masih bangunan tua jaman Belanda yang dijadiin cagar budaya sama pemerintah karena inilah daya tarik Sawahlunto. Menjelang magrib, pas lampu-lampu mulai dinyalain tuh indah banget, rasanya damaaai...

Oh iya, di foto itu, yang di atasnya hotel, di atas bukit ada deretan huruf HOLIWUD SAWAHLUNTO lho, yang warna kuning itu. Sayang fotonya kecil jadi ga keliatan. Ini juga jadi icon Sawahlunto, karena letaknya di atas bukit jadi keliatan dari segala sudut kota ini.

Abis maghrib, kita keluar cari makan. Clueless nih, soalnya googling juga ga nemu info yang ok. Pas nanya ke resepsionis hotel tentang tempat makan enak, dijawab di resto hotel enak. Hahaha, yaeyalah mbaknya promosi. Akhirnya kita muter-muter aja keliling kota. Beneran lho, keliling kota! Soalnya, disana, kita udah berasa lewat jalan beda, muter-muter, sampainya disitu-situ juga! Daaaaan, akhirnya, kita makan...pecel lele. Hahahaha.... Jam 8 Itu ya, udah sepi aja lho. Pilihan makanan cuma minang dan pecel lele. Adasih semacam kafe di depan hotel ombilin, tapi karna sesiangan ga makan, kita pilih makan berat aja. Okesip... Jadi pelajaran kalo mau kesini lagi mungkin makan malemnya sebelum maghrib kali ya... Sebelum balik hotel, kita sempet mampir ke semacam bazar yang diadain karna siangnya ada tabligh akbar bersama mamah dedeh.

Paginya, abis sarapan sempet tidur lagi, baru check out. Tujuan selanjutnya wisata tambangnya. Kita ke Lubang Mbah Soero. Pas baca-baca, kok kayanya agak horor ya tempatnya, ga semua orang berani masuk, banyak juga cerita mistisnya. Jadilah gue yang cemen ini ga berniat masuk. Ngeri kan bok, bawa anak kecil, kan biasanya anak kecil suka liat yang aneh-aneh tuh... Jadi kita masuk ke infobox-nya, niatnya mau liat-liat aja. Infobox ini dulunya balai pertemuan buruh, dipakai sebagai tempat berkumpulnya buruh, menonton berbagai pertunjukan seperti ronggeng, tonil, dan sebagainya. Tadinya gue mikir tuh, baik juga kumpeni ngasih hiburan ke pekerja. Ternyata, hiburan itu ga gratis juga, harus bayar. Terus, tujuannya supaya uang buruh ga lari kemana-mana, tetep berputar disitu aja. Yayaya...

Setelah bayar tiket sebesar 8ribu rupiah, ternyata kita langsung disuruh ke belakang, pake helm dan sepatu tambang, daaan, dianter ke Lubang Mbah Soero. Okelah, terpaksa masuk. Pas udah di dalem, ternyata ga seserem yg gue bayangin. Mirip lah sama Lubang Jepang Bukittinggi, bedanya disini dindingnya item. *Yaeyalah namanya juga  emas hitam* Malah disini lebih enak karena ada blower anginnya, jadi ga panas dan napas ga engap.

Ceritanya, Mbah Soero ini adalah nama mandor dilubang itu. Beliau adalah pekerja keras dan baik hati sehingga sangat disegani. Karena itu kini namanya digunakan sebagai nama lubang yang aslinya bernama lubang soegar ini. Lubang Mbah Soero sendiri dibuka tahun 1891 di masa awal mulainya penambangan. Panjangnya sekitar 1,5 km. Karena letak lubangnya dekat dengan batang (sungai) lunto, banyak rembesan air. Akhirnya, lubang ditutup pada tahun 1932. Mulai tahun 2008 dibuka untuk pengunjung sepanjang 186km. Masuknya dari samping infobox dan keluar di seberang jalan. Konon, saat lubang dibuka untuk dipugar menjadi tempat wisata, ditemukan kerangka orang rantai disini, yang akhirnya dikuburkan di makam orang rantai. Konon juga, banyak pengunjung yang liat hal-hal gaib disini, ada juga yang diberi penglihatan gimana dulu orang rantai diperlakukan dengan sangat kejam. Alhamdulillah kita aman-aman aja. Tapi emang sih, sampe tidur malemnya, gue masih kepikiran dan kebayang-bayang gambar orang rantai yang diliat di Infobox. Oh iya, pas keluar dari itu kita baru baca brosurnya, ternyata ada beberapa larangan, salah satunya kalo lagi haid dilarang masuk. Nah, gue udah terlanjur donk, alhamdulillah ga ada apa-apa.

Sebetulnya, di dekat infobox ada juga museum gudang ransum dan taman iptek. Tapi, karena Delisha tiba-tiba rewel nangis minta anggur, akhirnya kita ga jadi kesitu.  Jadi Lubang Mbah Soero menutup perjalanan kita kali ini. Next time, semoga ada kesempatan berkunjung lagi ke Sawahlunto. Pengen juga nyobain naik Mak Itam, lokomotif uap yang jadi icon Sawahlunto. Sayangnya mak itam cuma beroperasi di hari minggu, jadi kemarin ga bisa. Jadi, buat yang suka jalan-jalan, apalagi yang ngakunya pecinta sejarah, ga ada salahnya berkunjung ke Sawahlunto, kota kecil yang sarat sejarah.